Sering kita mendengar tentang kampanye setor minyak jelantah, “tukar minyak jelantah jadikan Biodiesel untuk selamatkan lingkungan” Yang ada dalam pikiran kita saat mendengar hal itu mungkin berpikir kalau minyak jelantah yang kita serahkan atau kita jual akan menjadi feedstock pembuatan biodiesel di Pertamina untuk jadi bahan bakar nabati seperti Dexlite atau Biodiesel di SPBU.
Namun tahukah kamu bahwa minyak jelantah dengan berbagai program pengepulan di Indonesia pada akhirnya di ekspor ke berbagai negara eropa, amerika dan sebagian kecil negara asia. Data ekspor minyak jelantah indonesia ke banyak negara menunjukan peningkatan yang signifikan selama lima tahun kebelakang yang artinya komoditas jelantah yang kita pikir akan diolah didalam negeri menjadi bahan baku biodiesel indonesia nyatanya tidak demikian.
Dari penelusuran kami didapatkan data bahwa pengolahan jelantah sebagai feedstock biodiesel dalam negeri sangat sedikit dan dari waktu ke waktu yang di notice sebagai pengolahan biodiesel adalah perusahaan yang bahkan sudah tidak memproduksi biodiesel dari second generation oil ini karena kesulitan supply bahan baku dan yang paling rutin dimention adalah sahabat dari bali dan makassar.
Tentu sangat tidak signifikan angkanya dibandingkan potensi 3 juta kilo liter produksi minyak jelantah tiap tahunnya berdasar riset Traction Energy Asia. Dari angka tersebut yang terkelola baru 500 ribu kilo liter itu pun hanya sedikit yang diolah menjadi biodiesel didalam negeri mayoritas diekspor ke negara yang menerima dengan harga tinggi.
Kenapa pertamina tidak membuat biodiesel dari minyak bekas ini? Berdasarkan informasi yang kami terima dari Dr. Bayu Prabowo Senior Specialist Pertamina untuk energi baru terbarukan dalam diskusi IDE Kata Data 2022 alasan utama kenapa pertamina memilih menggunakan minyak sawit baru adalah standar baku mutu untuk diolah menjadi FAME lebih mudah dan murah.
Dengan menggunakan minyak baru selain kandungan airnya sangat rendah, free fatty acid content dan acid value nya sudah memenuhi standar bahan baku pembuatan FAME, yang akan di blend dengan perangkat blend terbesar didunia yang dimiliki indonesia yaitu pembuatan B30 artinya ada 30% FAME dalam blend dengan Solar Fosil. Kehadiran air dan free fatty acid dalam proses transesterifikasi akan menghasilkan sabun yang tentu menurunkan kualitas FAME yang dihasilkan dan yieldnya menjadi rendah.
Menurut Dr. Bayu Prabowo tantangan menggunakan Minyak generasi kedua ini adalah kandungan FFA dan Acid Value nya yang tinggi terutama kadar air yang tinggi bahkan bisa mencapai 1% beliau menjelaskan perubahan warna dari minyak baru menjadi kecokelatan dan kehitaman menandakan ketiga komponen utama tersebut telah melewati ambang batas yang akan membutuhkan penyesuaian sebelum proses transesterifikasi minyak menjadi FAME. Dua tahap yang dimaksud adalah dewatering preheating atau pengurangan kadar air dan esterifikasi awal untuk mengurangi free fatty acid dimana kedua proses ini memiliki kebutuhan energi nyaris dua kali dibanding proses dengan minyak baru sehingga berpengaruh kepada cost produksi.
Berbeda dengan negara eropa yang digadang berhasil menggunakan minyak jelantah sebagai raw material biodiesel yaitu United Kingdom yang menggunakan Biodiesel dengan blend 7-10% untuk kebutuhan marine engine yang lebih tolerance atau memiliki standar bahan baku lebih rendah dibandingkan jika digunakan untuk mesin bertenaga tinggi.
Selain itu mutu minyak bekas dari warga negara tersebut berbeda dengan minyak bekas masyarakat indonesia. Manajer Riset Traction Energy Asia Dr Fariz Panghegar pun memberikan catatan kedepan indonesia juga bisa melakukan hal serupa dengan menghubungkan pusat produksi biodiesel dari jelantah di pulau jawa misalnya ke pelabuhan-pelabuhan terdekat yang memiliki kebutuhan marine engine besar.
Pertamina bisa saja menggunakan teknologi yang lebih robust untuk hydro cracking seperti HVO dan telah diuji dalam skala kecil hasil bahan bakarnya sangat baik namun memiliki biaya produksi lebih tinggi sehingga pertamina memberikan catatan agar capex yang tak terduga menjadi pertimbangan jika kelak menggunakan minyak jelantah sebagai bahan baku.
Catatan dari LPEM FEB UI yang diwakili Head of Environmental Research Group Dr Alin Halimatussadiah memberi catatan kritis yaitu basis rumah tangga yang belum tersentuh dalam sistem collecting minyak jelantah, dengan kondisi raw material yang sangat beragam serta motivasi penyerahan minyak jelantah yang bervariasi menjadikan sektor rumah tangga penting di optimalisasi apabila kelak penggunaan minyak jelantah sebagai feedstock akan dilakukan.
Dari data yang terhimpun diketahui bahwa terjadi pencemaran tanah dan air karena minyak jelantah di wilayah perkotaan, hal ini terjadi karena berdasarkan informasi riset traction energy 80% rumah tangga langsung membuang minyak jelantah ke wastafel atau drainase yang berakhir pada pencemaran air sungai dan air baku tanah sekitar artinya penyelamatan jelantah bukan hanya sekedar persoalan ekonomi yaitu penghematan anggaran hingga empat triliun Rupiah sesuai informasi perhitungan Traction Energy untuk belanja bahan bakar namun juga kepada kualitas lingkungan, dan yang jauh lebih penting LPEM FEB UI memberi catatan terkait kesehatan masyarakat yang menjadi konsumen minyak goreng apabila minyak jelantah yang mereka serahkan ke sembarang pihak ternyata disalahgunakan dan kembali dalam bentuk penggunaan minyak rekondisi dalam makanan.
Selain itu bahaya kerusakan lingkungan akan terjadi apabila tidak dilakukan replanting lahan sawit lama atau pemanfaatan jelantah sebagai target mandatory B30, namun jika naik sampai B40 keatas mau tidak mau akan terjadi pembukaan lahan sawit baru besar-besaran karena kebutuhan green energi bahan bakar nabati tersebut. Yang bisa menghambat pembukaan lahan baru adalah dengan mengupayakan penggunaan minyak jelantah sebagai source bahan bakar nabati.
Pemerintah dalam hal ini kementerian ESDM yang diwakili oleh Dr Edi Wibowo Direktur Bioenergy Dalam diskusi yang sama menyampaikan bahwa pemerintah Sangat aware dan mendukung dengan program pemanfaatan jelantah sebagai bahan baku pembuatan biodiesel serta akan membuat regulasi lintas kementerian dan juga mendorong kepada pemerintah daerah mendukung program pemanfaatan minyak jelantah sebagai feedstock bahan bakar biodiesel.
Yayasan Jalantara memberikan pandangan bahwa pengelolaan jelantah yang bersumber dari rumah tangga dan UKM semestinya dilakukan secara mini sirkular dengan mengedepankan penyerapan limbah jelantah menjadi produk sehari-hari. Jalantara mengembangkan produk pembersih berbahan dasar jelantah yang telah dipurifikasi dan diproses menjadi sabun cair yang dibutuhkan oleh rumah tangga serta UKM seperti produk sabun pencuci piring dan pembersih lantai. Dengan melakukan pendekatan pengelolaan limbah berbasis komunitas produk ramah yang dihasilkan dari limbah jelantah mereka sendiri akan dikelola oleh komunitas dalam hal ini bisa berupa bank sampah, majelis taklim, komunitas gereja, Vihara atau lintas komunitas lainnya.
Selain itu masyarakat mandiri energi bisa diinisiasi dengan konversi jelantah menjadi biodiesel untuk pembakaran sederhana seperti kompor. Tantangan biodiesel yang memiliki viskositas tinggi membuat butuh penyesuaian bentuk kompor dengan metode blower serta modifikasi lain. Namun dengan sederhana dan aman jelantah dikonversi dan digunakan sebagai sumber energi mandiri yang secara langsung mengurangi penggunaan bahan bakar fosil skala rumah tangga, terlebih masyarakat kepulauan atau pedesaan yang sering mengalami kelangkaan gas LPG 3 kg yang menjadi tumpuan aktivitas masyarakat termasuk untuk kebutuhan pariwisata seperti catering.
Penyerapan energi berbasis jelantah serta konversi menjadi bahan pembersih rumah tangga adalah solusi yang ditawarkan oleh yayasan jalantara dengan melakukan penyuluhan dan pelatihan komunitas dan bank sampah di seluruh indonesia. Apabila masyarakat mandiri sampah bisa berjalan maka dampak negatif limbah jelantah secara otomatis akan sangat berkurang.
Tantangan yang perlu diselesaikan adalah regulasi mengenai produk hasil olahan limbah jelantah apabila dipasarkan secara terbuka, oleh sebab itu Jalantara sedari awal menganjurkan agar produk olahan tersebut digunakan dan diedarkan terbatas untuk komunitas dengan pendekatan tersebut mini sirkular ekonomi niscaya tercapai dan disisi lain komunitas bank sampah atau komunitas masyarakat lainnya bisa memiliki profit dan bergerak lebih kuat untuk program penyelamatan lingkungan lainnya di wilayah masing-masing.